kerajaan mugal

Asal Usul Kerajaan Mughal
Mughal merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya, berdiri antara tahun (1526-1858 M). Dinasti Mughal di India didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan. Ekspansinya ke India dimulai dengan penundukan penguasa setempat yaitu Ibrahim Lodi dengan Alam Khan (Paman Lodi) dan gubernur Lohere[1].­ Ia berhasil munguasai Punjab dan berhasil menundukkan Delhi, sejak saat itu ia memproklamirkan berdirinya kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah Nashiruddin Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M)[2], puteranya sendiri. Sepanjang pemerintahanya tidak stabil, karna banyak terjadi perlawanan dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau sempat mengungsi ke Persia karna mengalami kekalahan saat melawan pemberontakan Sher Khan di Qonuj, tetapi beliau berhasil merebut kembali kekuasaanya pada tahun 1555 M berkat bantuan dari kerajaan safawi. Namun setahun kemudian 1556 M beliau meninggal karna tertimpa tangga pepustakaan, dan tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh putranya yang bernama Akbar.
2.2       PERKEMBANGAN DAN KEJAYAAN KERAJAAN MUGHAL
Masa kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar (1556-1506 M), dan tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuaan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khahan, seorang syi’i. Pada masa pemerintahanya, Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadi peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan Kwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudun Nasir,1981:265-266).
Setelah Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra beliau yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M). Namun Jehangir adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga Din-i-Illahi yang dibentuk ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[3]
Sepeninggalan Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa pemerintahanya banyak muncul pemberontakan dan perselisihan dalam internal keluarga istana. Namun semua itu dapat diatasi oleh beliau, bahkan beliau berhasil memperluas kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk kepada pemerintahan Mughal. Keberhasilan  itu tidak bias lepas dari peran Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan setelah berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada masanya kebesaran Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran namanya-pun disejajarkan dengan pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku  di India yang dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M. Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negara adikuasa. Ia menguasai perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.[4]
Dengan besarnya nama kerajaan Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan pada masa itu telah  muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati sampai sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan Istana Indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
2.3       KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.[5] Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.[6]
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus Syah. Akan tetapi, pemerintahannya oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M an diganti oleh putranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah apat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi tewas di tangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai gantinya diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantual kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu, ada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal. Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member hadiah yang sangat banyak keada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang Chin Qilich Khan yang bergelar Nizam Al-Mulk (1722-732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi, tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabat dan menetap di sana.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Mughal secara detail, yaitu :
1.      Terjadinya stagnasi pembinaan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat dipantau.
2.      Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan dan penggunaan uang Negara.
3.      Pendekatan Aurengzeb yang terkesan kasar dalam mendakwahkan agama.
4.      Pewaris tahta pada paroh terakhir adalah pribadi-pribadi lemah








Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Safawi

Awalnya kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabila, sebuah kota di Azerbaijan, Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah,[1][3] yang diambil dari nama pendirinya Safi Al-din (1252-1334 M),  dan nama itu terus dipertahankankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan Kerajaan.[2][4] Menurut Harun Nasution, di Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi bernama Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan.[3][5]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan Safawi adalah Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan atau dikenal dengan Safi Al-Din, yang semula hanya sebagai mursyid tarekat dengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama. Namun pada tahun selanjutnya setelah memperoleh banyak pengikut fanatik akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan diteruskan mendirikan sebuah kerajaan. Perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi, yang dipelopori oleh Safi Al-Din sejak tahun 1252 hingga 1334 M. Kerajaan ini berdiri di saat Kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.[4][6]


SILSILAH RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI


Safi Al-Din (1252-1334 M)
                   
Sadar Al-Din Musa (1334-1399 M)

Khawaja Ali (1399-1427 M)

Ibrahim (1427-1447 M)

Juneid 1447-1460 M)

Haidar 1460-1494 M)
  _____________________

Ali (1494-1501 M)  

1.    Ismail (1501-1524 M)

2.    Tahmasp I (1524-1576 M)
    ___________________

3.    Ismail II (1576-1577 M)         

4.    Muhammad Khudabanda (1577-1787 M)

5.   Abbas I (1588-1628 M)

6.    Safi Mirza (1628-1642 M)

7.    Abbas II (1642-1667 M)

8.    Sulaiman (1667-1694 M)

9.    Husen (1694-1722 M)

10. Tahmasp II (1722-1732 M)

11. Abbas III (1732-1736 M)

         
 Safi Al-Din berasal dari keturunan yang berada namun  ia memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301)[5][7] yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani, karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din dijadikan menantu oleh gurunya tersebut.[6][8] Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M, pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan golongan “ahli-ahli bid’ah”.[7][9] Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi nama Khalifah untuk memimpin murid-muridnya di daerah masing-masing.[8][10]
Suatu ajaran Agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah[9][11].
Dalam dekade 1447 – 1501 M Safawi memasuki tahap gerakan politik, sama halnya dengan gerakan sanusiyah di Afrika Utara, Mahdiyah di Sudan dan Maturdiyah serta Naksyabandiyah di Rusia. Kecenderungan memasuki dunia politik secara konkrit tampak pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasaan kegiatan ini ternyata menimbulkan konflik antara Juneid dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu, misalnya konflik politik dengan kerajaan-kerajaan Kara Koyunlu (domba hitam) salah satu suku bangsa Turki  yang berkuasa di wilayah itu yang bermahzhab Sunni di bawah kekuasaan Imperium Usmani. Karena konflik tersebut maka ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian Persia.[10][12]
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik denagn Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahu  1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Circassia tetepi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut. Keteika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salh seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail, yang di kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi di Persia.[11][13]
 Kemenangan AK-Koyunlu terhadap Kara Koyunlu tahun 1476 M, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK-Koyunlu dalam meraih kekuasaan yang selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu AK Konyulu, tetapi itulah politik. Ak Konyulu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Konyulu mengirim bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.[12][14]
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Konyulu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Konyulu ketika itu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama kedua saudaranya Ibrahim dan Ismail beserta ibunya, di fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, Putra Mahkota AK Konyulu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. setelah saudara sepupu Rustam itu dapat dikalahkan. Ali bersaudara (Ibrahim dan Ismail) beserta ibunya kembali ke Ardabil. Akan tetapi tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara pada tahun 1494 M dan Ali terbunuh dalam serangan ini.[13][15]
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia 7 tahun. Selama 5 tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah). Ismail memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya dengan menjalin hubungan dengan para pengikutnya.[14][16]
Di bawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Konyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Konyulu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga sebagai Ismail I.[15][17] dengan ia sendiri sebagai Syaikhnya yang pertama dan menetapkan Syi’ah Dua Belas sebagai agama resmi kerajaan Safawi. Dengan diproklamasikannya kerajaan Safawi sebagai kerajaan dan ditetapkan pula Syi’ah sebagai agama kerajaan maka merdekalah Persia dari pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing lainnya. Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Safawi yang akan turut memberikan kontribusi dalam perkembangan kekuasaan Islam.

C.   Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Kerajaan Safawi di Persia

Pada masa pemerintahan Ismail, Safawi berhasil  mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia beruasaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi mengadap kekuatan besar dari Kerajaan Turki Usmani tetapi menghadapi kekuaatan besar dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat keturunan Persia dan Qizilbash.[16][18]
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang ditempuh  oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah :
1.    Menghilang dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2.    Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Unar, Usman) dalam khotbah Jumatnya[17][19].
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[18][20].
Pada masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :

1.    Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian kemajuan dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbash yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi pada awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun  suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.[19][21]
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.

2.    Bidang Ekonomi

Kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan dibidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antar Timur dan Barat. Yang biasa diperebut oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sesungguhnya menjadi milik Kerajaan Safawi.[20][22] Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (fortile crescent).

3.    Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains

Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek), Sadar Al-Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah).[21][23] Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.[22][24] Pada masa Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi sebagai agama resmi Negara.
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui. Mereka berbeda didalam memahami ajaran agama. Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujthadi. Golongan Ushuli inilah yang palling berperan pada masa Safawi.
Menurut Hodhson, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad ke XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof diantaranya Muhammad Baqir Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi, tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejartah ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya[23][25].

4.    Bidang Perkembangan Fisik dan Seni

Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secra apik. Ketika Abbas I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.[24][26]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannyaseperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.[25][27]
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.

D.   Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi

Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi dimulai sejak Raja Abbas I telah tiada, sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husen (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut, kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran, karena Kerajaannya ketika itu diperintah oleh raja-raja yang lemah dan memiliki perangai dan sifat yang buruk. Hal ini menyebabkan rakyat kurang respon dan timbul sikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Raja-raja yang memerintah setelah Abbas I adalah sebagai berikut:


No

Nama Raja

Masa Berkuasa
Indikasi
Kemunduran & Kehancuran
1
Safi Mirza
1628-1642 
-    Jiwa lidershipnya lemah.
-    Sangat kejam terhadap para pembesar Kerajaan.
-    Memiliki sifat cemburu terhadap petinggi kerajaan.
-    Kota Qandahar lepas dan diduduki Kerajaan Mughal (Sultan Syah Jehan).
-    Dan Bagdad direbut oleh Kerajaan Turki Usmani.
2
Abbas II
1642-1667 M
-   Sifat dan Moralnya jelek.
-   Pemabuk/suka minum minuman keras.
3
Sulaiman
1667-1694 
-  Kejam terhadap para pembesar Kerajaan, terutama terhadap orang-orang yang dicurigainya
-   Karena sifat & moralnya yang buruk itu rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahannya
4
Husen
1694-1722 M
-   Memberi kekuasaan yang besar kepada para ‘ulama Syi’ah.
-   Ulama Syi’ah sering slah guna kewenangan/kekuasaan yang diberikan raja.
-   Ulama Syi’ah sering memaksakan pendapat terhadap penganut aliran Sunni sehingga membuat golongan Sunni marah.
-   Konflik yang terjadi antara golongan Syi’ah dengan Sunni berimplikasi pada sistem pemerintahan menjadi tidak stabil secara berkelanjutan.
-   Pernah terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang di pimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir mahmud ini, kota Qandahar lepas dari safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
5
Tahmasp II
1722-1732 M
Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Madhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
6
Abbas III
1732-1736 M
-   Tidak berpengalaman.
-   Diangkat menjadi Raja pada saat masih kecil.[26][28]
-   Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian kerajaan Safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Safawi.

 Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi :
1.    Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliaran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I, namun tak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tida ada lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar Islam itu.[27][29]
2.    Adanya dekadensi moral yang melanda sebagaian para pemimpin Kerajaan Safawi.
3.    Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash (baret merah) hal ini dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh pasukan Qilzibash, sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru tidak memiliki militansi dan semangat yag sam,a dengan anggota Qilzibash sebelumnya.
4.    Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana[28][30].
Dengan demikian bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan institusi keagamaan safawiyah yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami perubahan secara mencolok pada akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan belas.

E.   Kesimpulan

Kerajaan Safawi beradal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal, kerajaan Safawi mengalami kemunduran, disebabkan raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalam perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, Kerajaan Safawi hancur.

















































Popular posts from this blog

macam macam software pembelajaran matematika

Puisi beruntun