mari berdakwah

Assalamualaikum Warohmatulohi wabarokatuh

What is the meaning of MUHARAM ??

1. Muharam adalah bulan yang di agungkan

Apa ya yang di maksud dengan bulan muharam ???? ayooo sahabtu muslimin dan muslimah ada yang sudah tahu ??? kita ulas sedikit pengertiannya siapa tahu kalo lama lama bisa menjadi seperti buih di lautan hehe
 Allah SWT berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِيَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُالْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (QS. At-Taubah : 36)



Dalam ayat di atas disebutkan bahwa ada dua belas : mulai dari bulan Muharam yang insya Allah akan tiba besuk malam, hingga bulan Dzulhijjah. Diantara dua belas bulan itu ada empat bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
Karena ini adalah bulan Muharam kita ulas bulan Muharam saja ya sobat .
Muharaman merupakan penamaan bulan dalam hijriyyah yaitu suatu bulan yang di dalamnya terdapat sebuah moment atau acara ataupun sebuah rutinitas yang selalu di lakukan oleh kaum muslimin wal muslimat tepatnya pada tanggal 1 makanya suka di sebut tahun baru Hijriyyah . Secara loghowi atau bahasa kata muharam memiliki arti yang di haramkan berasal dari kata haram yang artinya berdosa .

Sedangkan menurut Abu ‘Amr Ibn Al ‘Alaa berkata, “ Dinamakan bulan Muharam dikarenakan peperangan ( jihad )  di haramkan pada waktu tersebut. Subhanalloh betapa agungnya bulan ini sehingga semua kaum muslimin di larang sebagai tugasnya untuk berjihad melawan kafir. Lalu bagaimana kalau musuh menyerang ???  yah di sebutkan pula jika terpaksa maka lawanlah . nah itulah sobat betapa Alloh sangat memuliakan bulan ini.

Lalu bagaimana dengan amalan –amalan yang lainnya ? jihad saja yang menjadi kewajiban pada zaman Rosululloh dilarang . Nah sobat mafhum dari hal ini adalah perbuatan yang secara asal telah di laang oleh Alloh SWT memiliki penekanan pengharaman untuk lebih di di hindari secara khusus pada bulan ini, intinya Alloh melarang umatnya untuk tidak melakukan sesuatu atau perbuatan yang di larangnya dan yang tidak dengan syariat agama.

Makanya pada bulan muharam ini yu kita melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kalo dalam istilah kerennya lagi mah Fastabaqul khoirot atau berlomba- lomba dalam kebaikan.
Sedangkan di tinjau dari segi sejarahnya pengambilan tanggal 1 muharam berasal dari ulasan yang akan kita bahas . taraaaaaa

 Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun kelender Islam. Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru Islam. Dalam musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang mengatakan penanggalan Islam dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering dipakai. Ada yang menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat. 

Ada juga yang mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan alasan pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan alasan karena peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi  Rasulullah SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid (Islam). Setelah lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah. Menariknya, meskipun awal bulan Muharram merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara 62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar. Dalam kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang. Adapun penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan R. Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75 orang Madinah yang ikut baiat untuk siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah di kemudian hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau. Betapa besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14 abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang kafir tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang baru yaitu Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib  inilah yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”. 

2.  Bulan muharam sebagai bulan Berhijrah

Sungguh, hijrah merupakan perjuangan monumental yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka rela meninggalkan segala harta, termasuk rumah dan perabotnya, menuju Yatsrib yang kemudian dikenal sebagai Madinah. Mereka rela meninggalkan tanah air menuju tanah yang tidak jelas peluang bisnis maupun ladang pekerjaan di sana. Bahkan lebih dari itu, dengan hijrah tidak sedikit para sahabat yang mempertaruhkan nyawa mereka. Termasuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar, yang dikejar dan diburu hidup atau mati.

Tanpa hijrah, mungkin tidak ada peradaban Islam yang dimulai Rasulullah dari Madinah. Tanpa hijrah, mungkin tidak akan ada kemenangan demi kemenangan yang diraih Rasulullah dan para sahabatnya hingga mampu memfutuhkan Makkah dan menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arab. Hingga sekarang Islam dipeluk oleh lebih dari 1,2 milyar penduduk bumi.

Karena itulah, ketika Umar bin Khatab hendak menentukan tahun baru Islam, beliau memilih Muharam sebagai bulan pertama. Hijrah yang diambil sebagai titik tolak peradaban Islam. Maka kalender Islam pun disebut sebagai kalender hijriyah.

Lalu bagaimana kita mengambil ibrah dari peristiwa hijrah yang terjadi pada bulan Muharam 1433 tahun yang lalu? Sedangkan Rasulullah telah mensabdakan,

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ

Tidak ada hijrah setelah futuhnya Makkah (HR. Bukhari)

Perlu diketahui, bahwa maksud hadits Rasulullah SAW itu adalah, tidak lagi wajib hijrah dari Makkah ke Madinah setelah futuhnya Makkah. Karena tidak ada kewajiban untuk hijrah dari negeri Muslim.

Hijrah yang dituntut Islam bagi ummatnya adalah hijrah maknawi, semangat hijrah seperti sabda Rasulullah SAW:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

"Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah." (HR. Bukhari)

Inilah hakikat hijrah, inilah semangat hijrah, dan inilah kesempatan bagi setiap muslim: hijrah adalah meninggalkan larangan Allah SWT. Maka ketika kita berusaha beralih dari kemaksiatan menuju ketaatan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha meninggalkan kezaliman menuju keadilan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha mengubah hidup kita dari kejelekan menjadi kebaikan, itu adalah hijrah.
1.     Peristiwa di balik Bulan Muharam
Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi. Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:

 1. Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya,Siti Hawa di        Padang Arafah (Jabal Rahmah)
2.  Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4.  Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5.    Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
6.    Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
7.    Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
8.    Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
9.    Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
10.    Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun. 11.    Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
12.    Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
13.    Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
14.    Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala. 

Pada tanggal ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi). Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu. 

Anjuran Dalam Bulan Muharram Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram. Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR. Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi. Begitu juga dianjurkan pada hari tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi) keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi) Dengan memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah. Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW mulai mengerjakan puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan. Dalam suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW baru hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”. 

3. Amalan Sunnah di Bulan Muharram

Di antara amalan sunnah yang disebutkan secara khusus pada bulan Muharram adalah berpuasa sunnah.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Maksud puasa dalam hadis tersebut adalah puasa sunnah secara umum. Memperbanyakkan amalan puasa sunnah dalam bulan Muharram terutamanya pada hari yang ke sepuluh Muharram adalah termasuk sunnah-sunnah yang sangat dianjurkan.

‘Abdullah B. ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Nabi tiba di Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura (hari ke sepuluh Muharram).” Nabi bertanya, “Puasa apakah ini?”

Orang-orang menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, iaitu hari di mana Allah telah menyelamatkan bani Isra’el dari kejahatan musuhnya, maka Musa pun berpuasa sebagai tanda syukur beliau kepada Allah. Dan kami pun turut serta berpuasa.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kamu semua.” Akhirnya Nabi pun berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/127, no. 1865)

Sejarah penetapan puasa ‘Asyura mengalami beberapa fasa. Pada awalnya, ketika di Makkah Nabi berpuasa ‘Asyura tanpa memerintah orang lain untuk berpuasa. Kemudian apabila sampai di Madinah, beliau tetap terus berpuasa di hari ‘Asyura dan memerintahkan umat Islam agar turut berpuasa.

Tetapi setelah perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan turun, puasa di hari ‘Asyura menjadi sunnah dan tidak diwajibkan. Rasulullah mengatakan:

فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Sesiapa yang hendak berpuasa (pada hari ‘Asyura), silakan berpuasa, bagi yang tidak berpuasa, juga tidak mengapa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1863)

Kemudian ketika di penghujung hayatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada hari ‘Asyura (hari yang ke sepuluh) sahaja di bulan Muharram, tetapi juga bertekad untuk puasa pada hari yang ke sembilannya.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ketika Nabi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk turut berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Jika begitu, tahun depan insyaAllah kita puasa sekali pada hari yang ke sembilannya.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Tetapi belum sempat sampai tahun depan, beliau telah wafat terlebih dahulu.” (Hadis Riwayat Muslim, 5/479, no. 1916)

Dari hadis ini, umat Islam tidak hanya disunnahkan agar berpuasa di hari ke sepuluh Muharram atau dikenali sebagai hari ‘Asyura, tetapi juga turut disunnahkan agar berpuasa pada hari ke sembilan Muharram.

Rasulullah mengisyaratkan tentang kelebihan puasa ‘Asyura sebagaimana sabdanya:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Adapun puasa di hari ‘Asyura, aku memohon kepada Allah agar ia dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/55, no. 1976)

Juga sebagaimana dalam hadis yang lain sebagaimana telah disebutkan, puasa di hari ‘Asyura adalah termasuk puasa yang paling afdhal setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Dan Rasulullah sentiasa melaksanakannya puasa ‘Asyura ini dengan penuh kesungguhan. Ini adalah sebagaimana kata ‘Abdullah B. ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

“Tidaklah aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berusaha untuk melaksanakan puasa pada satu hari yang lebih beliau utamakan berbanding hari-hari lainnya melainkan pada hari ini iaitu hari ‘Asyura, dan pada bulan ini, iaitu bulan Ramadhan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1867)

Referensi 

Al- quranul karim
Kitab Riyad As sholihin
Buku sejarah kebudayaan islam

Sekian ulasan dari saya ukhti semoga bermanfaat sitiromlahazzuhudy.blogspot.com




Popular posts from this blog

macam macam software pembelajaran matematika

Puisi beruntun