mari berdakwah
Assalamualaikum Warohmatulohi wabarokatuh
What is
the meaning of MUHARAM ??
1. Muharam
adalah bulan yang di agungkan
Apa ya
yang di maksud dengan bulan muharam ???? ayooo sahabtu muslimin dan muslimah
ada yang sudah tahu ??? kita ulas sedikit pengertiannya siapa tahu kalo lama
lama bisa menjadi seperti buih di lautan hehe
Allah SWT berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِيَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُالْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (QS. At-Taubah : 36)
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa ada dua belas : mulai dari bulan Muharam yang insya Allah akan tiba besuk malam, hingga bulan Dzulhijjah. Diantara dua belas bulan itu ada empat bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِيَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُالْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (QS. At-Taubah : 36)
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa ada dua belas : mulai dari bulan Muharam yang insya Allah akan tiba besuk malam, hingga bulan Dzulhijjah. Diantara dua belas bulan itu ada empat bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
Karena ini adalah bulan Muharam kita ulas bulan
Muharam saja ya sobat .
Muharaman
merupakan penamaan bulan dalam hijriyyah yaitu suatu bulan yang di dalamnya
terdapat sebuah moment atau acara ataupun sebuah rutinitas yang selalu di
lakukan oleh kaum muslimin wal muslimat tepatnya pada tanggal 1 makanya suka di
sebut tahun baru Hijriyyah . Secara loghowi atau bahasa kata muharam memiliki
arti yang di haramkan berasal dari kata haram yang artinya berdosa .
Sedangkan
menurut Abu ‘Amr Ibn Al ‘Alaa berkata, “ Dinamakan bulan Muharam dikarenakan
peperangan ( jihad ) di haramkan pada
waktu tersebut. Subhanalloh betapa agungnya bulan ini sehingga semua kaum
muslimin di larang sebagai tugasnya untuk berjihad melawan kafir. Lalu
bagaimana kalau musuh menyerang ??? yah
di sebutkan pula jika terpaksa maka lawanlah . nah itulah sobat betapa Alloh
sangat memuliakan bulan ini.
Lalu
bagaimana dengan amalan –amalan yang lainnya ? jihad saja yang menjadi
kewajiban pada zaman Rosululloh dilarang . Nah sobat mafhum dari hal ini adalah
perbuatan yang secara asal telah di laang oleh Alloh SWT memiliki penekanan
pengharaman untuk lebih di di hindari secara khusus pada bulan ini, intinya
Alloh melarang umatnya untuk tidak melakukan sesuatu atau perbuatan yang di
larangnya dan yang tidak dengan syariat agama.
Makanya
pada bulan muharam ini yu kita melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar kalo dalam
istilah kerennya lagi mah Fastabaqul khoirot atau berlomba- lomba dalam
kebaikan.
Sedangkan
di tinjau dari segi sejarahnya pengambilan tanggal 1 muharam berasal dari
ulasan yang akan kita bahas . taraaaaaa
Tradisi
penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada
waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk
berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai
usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi
SAW dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun kelender
Islam. Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah
menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan
pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”.
Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian
Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti.
Hingga akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun
baru Islam. Dalam musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari
kalangan sahabat itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya
tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang mengatakan
penanggalan Islam dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah,
yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering
dipakai. Ada yang menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu
pertama kepada Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik
oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat.
Ada juga yang
mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan
alasan pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam
sebagai agama yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan
Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan alasan
karena peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi Rasulullah
SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid (Islam). Setelah
lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing,
akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam
dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian
diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah
Saw dari Makkah ke Madinah. Menariknya, meskipun awal bulan Muharram merupakan
awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal permulaan hijrah
Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan bulan R. Awwal tahun ke-13
kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal Muharram. Sedangkan antara permulaan
hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat
jarak sekitar antara 62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.
Dalam kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah
dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal
bulan R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian
orang. Adapun penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender
Hijriyah adalah hasil musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar
bin Khatthab ra saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang
mengusulkan R. Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan
Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan
pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk
hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk Madinah yang
datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75 orang Madinah yang ikut
baiat untuk siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke
Madinah di kemudian hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun
melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar,
meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau. Betapa
besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1 Muharram,
ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14 abad silam.
Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan
sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang kafir
tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat membahayakan
masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta
para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya yang
tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang baru yaitu Yastrib
(Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib inilah yang disebut
“hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab dijadikan momentum dan starting
point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu
memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan
sejarah”.
2. Bulan muharam sebagai bulan Berhijrah
2. Bulan muharam sebagai bulan Berhijrah
Sungguh, hijrah merupakan perjuangan monumental
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka rela meninggalkan
segala harta, termasuk rumah dan perabotnya, menuju Yatsrib yang kemudian
dikenal sebagai Madinah. Mereka rela meninggalkan tanah air menuju tanah yang
tidak jelas peluang bisnis maupun ladang pekerjaan di sana. Bahkan lebih dari
itu, dengan hijrah tidak sedikit para sahabat yang mempertaruhkan nyawa mereka.
Termasuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar, yang dikejar dan diburu hidup atau mati.
Tanpa hijrah, mungkin
tidak ada peradaban Islam yang dimulai Rasulullah dari Madinah. Tanpa hijrah,
mungkin tidak akan ada kemenangan demi kemenangan yang diraih Rasulullah dan
para sahabatnya hingga mampu memfutuhkan Makkah dan menyebarkan Islam ke
seluruh jazirah Arab. Hingga sekarang Islam dipeluk oleh lebih dari 1,2 milyar
penduduk bumi.
Karena itulah, ketika Umar bin Khatab hendak menentukan tahun baru Islam, beliau memilih Muharam sebagai bulan pertama. Hijrah yang diambil sebagai titik tolak peradaban Islam. Maka kalender Islam pun disebut sebagai kalender hijriyah.
Lalu bagaimana kita mengambil ibrah dari peristiwa hijrah yang terjadi pada bulan Muharam 1433 tahun yang lalu? Sedangkan Rasulullah telah mensabdakan,
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
Tidak ada hijrah setelah futuhnya Makkah (HR. Bukhari)
Perlu diketahui, bahwa maksud hadits Rasulullah SAW itu adalah, tidak lagi wajib hijrah dari Makkah ke Madinah setelah futuhnya Makkah. Karena tidak ada kewajiban untuk hijrah dari negeri Muslim.
Hijrah yang dituntut Islam bagi ummatnya adalah hijrah maknawi, semangat hijrah seperti sabda Rasulullah SAW:
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
"Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah." (HR. Bukhari)
Inilah hakikat hijrah, inilah semangat hijrah, dan inilah kesempatan bagi setiap muslim: hijrah adalah meninggalkan larangan Allah SWT. Maka ketika kita berusaha beralih dari kemaksiatan menuju ketaatan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha meninggalkan kezaliman menuju keadilan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha mengubah hidup kita dari kejelekan menjadi kebaikan, itu adalah hijrah.
Karena itulah, ketika Umar bin Khatab hendak menentukan tahun baru Islam, beliau memilih Muharam sebagai bulan pertama. Hijrah yang diambil sebagai titik tolak peradaban Islam. Maka kalender Islam pun disebut sebagai kalender hijriyah.
Lalu bagaimana kita mengambil ibrah dari peristiwa hijrah yang terjadi pada bulan Muharam 1433 tahun yang lalu? Sedangkan Rasulullah telah mensabdakan,
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
Tidak ada hijrah setelah futuhnya Makkah (HR. Bukhari)
Perlu diketahui, bahwa maksud hadits Rasulullah SAW itu adalah, tidak lagi wajib hijrah dari Makkah ke Madinah setelah futuhnya Makkah. Karena tidak ada kewajiban untuk hijrah dari negeri Muslim.
Hijrah yang dituntut Islam bagi ummatnya adalah hijrah maknawi, semangat hijrah seperti sabda Rasulullah SAW:
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
"Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah." (HR. Bukhari)
Inilah hakikat hijrah, inilah semangat hijrah, dan inilah kesempatan bagi setiap muslim: hijrah adalah meninggalkan larangan Allah SWT. Maka ketika kita berusaha beralih dari kemaksiatan menuju ketaatan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha meninggalkan kezaliman menuju keadilan, itu adalah hijrah. Ketika kita berusaha mengubah hidup kita dari kejelekan menjadi kebaikan, itu adalah hijrah.
1.
Peristiwa di balik Bulan Muharam
Sementara dalam bulan Muharram,
lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan
Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang
pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan
“hari pertolongan” bagi para Nabi. Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat
beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama
Tauhid (Islam), antaranya:
1. Nabi Adam bertaubat
kepada Allah dan dipertemukan dengan
isterinya,Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah)
2. Nabi Idris diangkat oleh
Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan
Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan
Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Nabi Yusuf dibebaskan
dari penjara.
6.
Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
7. Nabi Ayub
dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
8. Nabi Yunus dikeluarkan
dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
9. Allah
menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
10. Nabi Musa
AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
11. Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
12. Nabi Ayub
sembuh dari sakitnya yang kronis.
13. Nabi
Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
14. Terbunuhnya cucu Nabi
Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.
Pada tanggal
ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah
wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka
puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat
disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10
Muharram”. (HR Tirmidzi). Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan
puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa
Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan
meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak
terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang
penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di
samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah
pada bulan itu.
Anjuran Dalam Bulan Muharram Rasulullah SAW menganjurkan kepada
ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan
menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada
bulan Muharram. Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura
menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim). Dalam
hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasululullah saw.
Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar
berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR. Muslim & Ibnu Majah), yakni
demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada
tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as.
Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan
puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi. Begitu juga dianjurkan pada hari
tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh
seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan sengsara,
kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi) keluarganya dan ahlinya pada
hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selama satu tahun”.
(HR Baihaqi) Dengan memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura
itu adalah hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah.
Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta
pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW
mulai mengerjakan puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota Madinah dan sebelum
turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan. Dalam suatu riwayat, Said bin Jubair dari
Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW baru hijrah ke Madinah mendapati kaum
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang
hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap
Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi
pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”.
3. Amalan
Sunnah di Bulan Muharram
Di
antara amalan sunnah yang disebutkan secara khusus pada bulan Muharram adalah
berpuasa sunnah.
Sebagaimana
disebutkan dalam hadis di atas, puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan
Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Maksud puasa dalam hadis tersebut
adalah puasa sunnah secara umum. Memperbanyakkan amalan puasa sunnah dalam
bulan Muharram terutamanya pada hari yang ke sepuluh Muharram adalah termasuk
sunnah-sunnah yang sangat dianjurkan.
‘Abdullah
B. ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ
بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Nabi
tiba di Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura
(hari ke sepuluh Muharram).” Nabi bertanya, “Puasa apakah ini?”
Orang-orang
menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, iaitu hari di mana Allah telah
menyelamatkan bani Isra’el dari kejahatan musuhnya, maka Musa pun berpuasa
sebagai tanda syukur beliau kepada Allah. Dan kami pun turut serta berpuasa.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa
daripada kamu semua.” Akhirnya Nabi pun berpuasa dan memerintahkan umat Islam
untuk berpuasa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/127, no. 1865)
Sejarah
penetapan puasa ‘Asyura mengalami beberapa fasa. Pada awalnya, ketika di Makkah
Nabi berpuasa ‘Asyura tanpa memerintah orang lain untuk berpuasa. Kemudian
apabila sampai di Madinah, beliau tetap terus berpuasa di hari ‘Asyura dan
memerintahkan umat Islam agar turut berpuasa.
Tetapi
setelah perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan turun, puasa di hari
‘Asyura menjadi sunnah dan tidak diwajibkan. Rasulullah mengatakan:
فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ
وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Sesiapa
yang hendak berpuasa (pada hari ‘Asyura), silakan berpuasa, bagi yang tidak
berpuasa, juga tidak mengapa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1863)
Kemudian
ketika di penghujung hayatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada hari ‘Asyura (hari yang ke sepuluh)
sahaja di bulan Muharram, tetapi juga bertekad untuk puasa pada hari yang ke
sembilannya.
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا
كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika
Nabi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk
turut berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah
hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.”
Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Jika begitu, tahun depan
insyaAllah kita puasa sekali pada hari yang ke sembilannya.” Ibnu ‘Abbas
berkata, “Tetapi belum sempat sampai tahun depan, beliau telah wafat terlebih
dahulu.” (Hadis Riwayat Muslim, 5/479, no. 1916)
Dari
hadis ini, umat Islam tidak hanya disunnahkan agar berpuasa di hari ke sepuluh
Muharram atau dikenali sebagai hari ‘Asyura, tetapi juga turut disunnahkan agar
berpuasa pada hari ke sembilan Muharram.
Rasulullah
mengisyaratkan tentang kelebihan puasa ‘Asyura sebagaimana sabdanya:
وَصِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Adapun
puasa di hari ‘Asyura, aku memohon kepada Allah agar ia dapat menghapuskan dosa
setahun yang lalu.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/55, no. 1976)
Juga
sebagaimana dalam hadis yang lain sebagaimana telah disebutkan, puasa di hari
‘Asyura adalah termasuk puasa yang paling afdhal setelah puasa wajib di bulan
Ramadhan. Dan Rasulullah sentiasa melaksanakannya puasa ‘Asyura ini dengan
penuh kesungguhan. Ini adalah sebagaimana kata ‘Abdullah B. ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى
غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي
شَهْرَ رَمَضَانَ
“Tidaklah
aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berusaha untuk
melaksanakan puasa pada satu hari yang lebih beliau utamakan berbanding
hari-hari lainnya melainkan pada hari ini iaitu hari ‘Asyura, dan pada bulan
ini, iaitu bulan Ramadhan.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1867)
Referensi
Al- quranul karim
Kitab Riyad As sholihin
Buku sejarah kebudayaan islam
Sekian ulasan dari saya ukhti semoga bermanfaat sitiromlahazzuhudy.blogspot.com